Dik Yuyun di Tengah Budaya Patriarki
Halo
Nyala Untuk Yuyun, saya harap tidak hanya secara simbolis |
Sekali-kali kita membahas isu yang lumayan ya
jangan yang remah rempeyek terus. Belakangan sedang mencuat tragedi di
Bengkulu. Seorang pelajar SMP, dik Yuyun, yang sedang pulang sekolah jalan sendirian lewat pinggir hutan diperkosa
sampai meninggal oleh 14 pemuda di bawah umur dibawah pengaruh alkohol. Yuk
sejenak kita panjatkan doa buat almarhumah, semoga amal ibadahnya diterima di
sisi Tuhan YME. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Semoga
tidak ada lagi kasus semacam ini. Aaamiin Ya Robbal Alamiin.
Khalayak ramai. Netizen mulai cuap-cuap.
Selebtwat mulai mengeluarkan kultwat. Para pemilik kepentingan menggunakan
tragedi ini untuk mendongkrak popularitas. Pegiat agama menawarkan solusi
agamis. Senator semakin meradang karena ada isu alkohol disini. Di lain pihak
ada yang merasa alkohol dikambinghitamkan disini. Ada kaum yang menyalahkan
almarhumah karena pakaiannya (pakai seragam SMP non jilbab), karena ybs
berjalan di pinggir hutan sendirian, karena tingkah laku ybs (padahal cuma
jalan kaki sendirian doang). Pun muncul kaum yang menyalahkan empatbelas pemuda
karena melakukan tindak biadab. Namun ada
sesuatu yang membuat gue gemas dengan pola pikir kebanyakan orang disini.
Terjadinya perkosaan menurut gue adalah
bentuk pelecehan hak kemanusiaan—terutama perempuan. Perkosaan sendiri terjadi
akibat paksaan. Kalo suka sama suka namanya bukan perkosaan—tapi tentu
endingnya perempuan yang akan disalahkan sebagai pihak yang menggoda. Sudah
diperkosa, masih distigma sebagai perempuan rendah, pecun, bispak. Semua
julukan itu jelassss membuat korban semakin tersudut. Belum kalau pihak
perempuan hamil dari hasil perkosaan tersebut, wah bisa makin amburadul L
Pemerkosaan dan tindakan asusila lainnya
memang sudah lumrah dibenci banyak orang. Jelas. Di kitab suci agama apapun
zina merupakan dosa besar. Dalam tatanan budaya maupun norma manapun, tindakan
asusila adalah aib. Tapi mengapa lebih mudah orang-orang menghina perempuan
sundal daripada laki-laki gigolo?
Sejak jaman Nabi Adam dan Siti Hawa masih
kejar-kejaran manja di Taman Firdaus, Tuhan menciptakan manusia dua jenis; laki-laki dan perempuan. Gue
tidak akan bilang wanita disini. Etimologi wanita berasal dari bahasa jawa
“wani ditoto”, kulo emoh sakpenake mbok toto, kowe ki sopo hah? Maka gue tidak
akan menggunakan ‘wanita’ kecuali dalam lirik lagu.
Dikutip dari sebuah manga—Laki-laki seperti
matahari, dan perempuan seperti bulan—punya spesifikasi dan sukses dalam bidang
mereka masing-masing, tapi tidak jarang juga perempuan sukses di bidang laki-laki dan sebaliknya. Tapi kenapa banyak perempuan menempatkan diri di bawah
laki-laki? Apakah karena status build perempuan sebagai yang lemah lembut dan
penuh kasih?
Dengan segala adat dan budaya ketimuran,
kebanyakan dari kita dididik secara patriarkis. Laki-laki serba di atas
perempuan. Perempuan harus selamanya inosen, serba tidak tahu, namun pandai
merawat diri dan mengurus rumah tangga. Perempuan harus bangun pagi, laki-laki
terserah. Tulisan perempuan harus bagus, laki-laki boleh ceker ayam. Ketek
perempuan harus putih, laki-laki boleh gondrong karena ngga cukur bulu ketek. Perempuan
tidak boleh menunjukkan libido dan ketertarikan mereka terhadap erotisme,
laki-laki patut. Tugas perempuan cuma berputar antara dapur, sumur, kasur.
Bahkan pada urusan kasur pun, perempuan lebih banyak pura-pura klimaks untuk
menyenangkan pasangannya. Jika suami main perempuan atau kawin lagi di bawah tangan,
perempuan harus bisa memaafkan dengan segala alasan, mulai dari norma sampai
agama. Kalau perempuan berlaku sebaliknya? Jangan harap lancar kalau ini masih
Indonesia.
Mengapa perempuan selalu jadi korban?
Sekali-kali pengen gitu denger perkosaan laki-laki oleh perempuan. Eh tapi itu
cuma H things ya, dibawah tag reverse rape. Perempuan selalu jadi korban karena
termakan stigma, merasa lemah, merasa di bawah laki-laki, dan akhirnya
cenderung menerima norma tersebut. Dan beberapa dari mereka mengutuki perempuan
yang tidak dididik di bawah stigma tersebut. Jeruk berantem sama jeruk. Perempuan
punya porsi mereka. Tidak harus sama dengan laki-laki, namun kami berhak
melawan jika diperlakukan tidak adil.
Dalam kasus Dik Yuyun ini, ada saja
lambe netizen yang tega menyalahkan Dik Yuyun mulai dari pakaiannya hingga
berjalan sendirian. Terus kalau almarhumah pakai mukena, niscaya tidak akan
diperkosa? Terus gimana dengan kasus pelecehan seksual sementara korbannya
pakai pakaian yang rapat membungkus tubuh? Hasrat itu terbitnya dari otak
pelaku boss ku—bukan dari atribut!
Gue percaya manusia lebih bermartabat dari
binatang. Kita mulia karena kita punya akal yang mengimbangi napsu. Dengan demikian,
patutlah kita berlaku lebih terhormat dari seekor binatang yang tidak dapat
menahan gairah saat melihat betina.
Jadi, marilah kita lebih bijak menyikapi. Khususnya
buat perempuan, berhentilah mengelompokkan diri jadi hijab syar’i vs jilboobs;
working mom vs stay at home mom; ASI mom vs susu-formula mom; syar’i vs syar’u;
moderat vs radikal; American look vs Korean look; ketek item vs ketek putih;
dan sebagainya. Perempuan setara dengan laki-laki dalam kemanusiaan. Tidak
usahlah memojokkan sesama perempuan cuma karena ia memilih jalan yang berbeda
dengan Anda. Kita sama-sama berhak memilih.
Yang perlu Anda pojokkan itu cuma kebodohan, dan orang-orang yang menggunakan kesakitan orang untuk kepentingan Anda pribadi.
Yang perlu Anda pojokkan itu cuma kebodohan, dan orang-orang yang menggunakan kesakitan orang untuk kepentingan Anda pribadi.
0 Your comments:
Posting Komentar