Kamis, 05 Mei 2016

Dik Yuyun di Tengah Budaya Patriarki

Halo
Nyala Untuk Yuyun, saya harap tidak hanya secara simbolis
Sekali-kali kita membahas isu yang lumayan ya jangan yang remah rempeyek terus. Belakangan sedang mencuat tragedi di Bengkulu. Seorang pelajar SMP, dik Yuyun, yang sedang pulang  sekolah jalan sendirian lewat pinggir hutan diperkosa sampai meninggal oleh 14 pemuda di bawah umur dibawah pengaruh alkohol. Yuk sejenak kita panjatkan doa buat almarhumah, semoga amal ibadahnya diterima di sisi Tuhan YME. Semoga keluarga yang ditinggalkan diberi ketabahan. Semoga tidak ada lagi kasus semacam ini. Aaamiin Ya Robbal Alamiin.

Khalayak ramai. Netizen mulai cuap-cuap. Selebtwat mulai mengeluarkan kultwat. Para pemilik kepentingan menggunakan tragedi ini untuk mendongkrak popularitas. Pegiat agama menawarkan solusi agamis. Senator semakin meradang karena ada isu alkohol disini. Di lain pihak ada yang merasa alkohol dikambinghitamkan disini. Ada kaum yang menyalahkan almarhumah karena pakaiannya (pakai seragam SMP non jilbab), karena ybs berjalan di pinggir hutan sendirian, karena tingkah laku ybs (padahal cuma jalan kaki sendirian doang). Pun muncul kaum yang menyalahkan empatbelas pemuda karena melakukan tindak biadab.  Namun ada sesuatu yang membuat gue gemas dengan pola pikir kebanyakan orang disini.

Terjadinya perkosaan menurut gue adalah bentuk pelecehan hak kemanusiaan—terutama perempuan. Perkosaan sendiri terjadi akibat paksaan. Kalo suka sama suka namanya bukan perkosaan—tapi tentu endingnya perempuan yang akan disalahkan sebagai pihak yang menggoda. Sudah diperkosa, masih distigma sebagai perempuan rendah, pecun, bispak. Semua julukan itu jelassss membuat korban semakin tersudut. Belum kalau pihak perempuan hamil dari hasil perkosaan tersebut, wah bisa makin amburadul L

Pemerkosaan dan tindakan asusila lainnya memang sudah lumrah dibenci banyak orang. Jelas. Di kitab suci agama apapun zina merupakan dosa besar. Dalam tatanan budaya maupun norma manapun, tindakan asusila adalah aib. Tapi mengapa lebih mudah orang-orang menghina perempuan sundal daripada laki-laki gigolo?

Sejak jaman Nabi Adam dan Siti Hawa masih kejar-kejaran manja di Taman Firdaus, Tuhan menciptakan manusia dua jenis; laki-laki dan perempuan. Gue tidak akan bilang wanita disini. Etimologi wanita berasal dari bahasa jawa “wani ditoto”, kulo emoh sakpenake mbok toto, kowe ki sopo hah? Maka gue tidak akan menggunakan ‘wanita’ kecuali dalam lirik lagu.

Dikutip dari sebuah manga—Laki-laki seperti matahari, dan perempuan seperti bulan—punya spesifikasi dan sukses dalam bidang mereka masing-masing, tapi tidak jarang juga perempuan sukses di bidang laki-laki dan sebaliknya. Tapi kenapa banyak perempuan menempatkan diri di bawah laki-laki? Apakah karena status build perempuan sebagai yang lemah lembut dan penuh kasih?

Dengan segala adat dan budaya ketimuran, kebanyakan dari kita dididik secara patriarkis. Laki-laki serba di atas perempuan. Perempuan harus selamanya inosen, serba tidak tahu, namun pandai merawat diri dan mengurus rumah tangga. Perempuan harus bangun pagi, laki-laki terserah. Tulisan perempuan harus bagus, laki-laki boleh ceker ayam. Ketek perempuan harus putih, laki-laki boleh gondrong karena ngga cukur bulu ketek. Perempuan tidak boleh menunjukkan libido dan ketertarikan mereka terhadap erotisme, laki-laki patut. Tugas perempuan cuma berputar antara dapur, sumur, kasur. Bahkan pada urusan kasur pun, perempuan lebih banyak pura-pura klimaks untuk menyenangkan pasangannya. Jika suami main perempuan atau kawin lagi di bawah tangan, perempuan harus bisa memaafkan dengan segala alasan, mulai dari norma sampai agama. Kalau perempuan berlaku sebaliknya? Jangan harap lancar kalau ini masih Indonesia.

Mengapa perempuan selalu jadi korban? Sekali-kali pengen gitu denger perkosaan laki-laki oleh perempuan. Eh tapi itu cuma H things ya, dibawah tag reverse rape. Perempuan selalu jadi korban karena termakan stigma, merasa lemah, merasa di bawah laki-laki, dan akhirnya cenderung menerima norma tersebut. Dan beberapa dari mereka mengutuki perempuan yang tidak dididik di bawah stigma tersebut. Jeruk berantem sama jeruk. Perempuan punya porsi mereka. Tidak harus sama dengan laki-laki, namun kami berhak melawan jika diperlakukan tidak adil.

Dalam kasus Dik Yuyun ini, ada saja lambe netizen yang tega menyalahkan Dik Yuyun mulai dari pakaiannya hingga berjalan sendirian. Terus kalau almarhumah pakai mukena, niscaya tidak akan diperkosa? Terus gimana dengan kasus pelecehan seksual sementara korbannya pakai pakaian yang rapat membungkus tubuh? Hasrat itu terbitnya dari otak pelaku boss ku—bukan dari atribut!

Gue percaya manusia lebih bermartabat dari binatang. Kita mulia karena kita punya akal yang mengimbangi napsu. Dengan demikian, patutlah kita berlaku lebih terhormat dari seekor binatang yang tidak dapat menahan gairah saat melihat betina.

Jadi, marilah kita lebih bijak menyikapi. Khususnya buat perempuan, berhentilah mengelompokkan diri jadi hijab syar’i vs jilboobs; working mom vs stay at home mom; ASI mom vs susu-formula mom; syar’i vs syar’u; moderat vs radikal; American look vs Korean look; ketek item vs ketek putih; dan sebagainya. Perempuan setara dengan laki-laki dalam kemanusiaan. Tidak usahlah memojokkan sesama perempuan cuma karena ia memilih jalan yang berbeda dengan Anda. Kita sama-sama berhak memilih.

Yang perlu Anda pojokkan itu cuma kebodohan, dan orang-orang yang menggunakan kesakitan orang untuk kepentingan Anda pribadi.

Related Articles

0 Your comments:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.